Media massa menyiarkan suatu tulisan dan karya
lainnya. Buku mengabadikan tulisan, dan karya lainnya. Kata “mengabadikan”
merupakan sebuah usaha untuk membuat abadi. Sekalipun sudah marak buku
elektronik (e-book), buku
konvensional tetap menarik untuk dibaca, dan buku konvensional tetaplah abadi.
Persoalannya, siapa
yang akan mengabadikan tulisan menjadi buku? Paling tidak, sebuah penerbit, ‘kan?
Tetapi tidaklah mudah sekian tulisan dikumpulkan lalu sudi dibukukan oleh
sebuah penerbit. Selain faktor mutu, kepentingan industri penerbitan, juga
antrean naskah yang tidak sedikit di ruang tunggu sebuah penerbit.
Pendiri
Penerbit Abadi
Karya didirikan oleh Agustinus Wahyono alias Gus Noy. Penerbit didirikan ketika
hendak membuat buku kumpulan cerita pendek “Di Bawah Bayang-bayang Bulan” pada 6
Juni 2010.
Sebuah Misi Idealis
Misi idealis itu adalah
membukukan atau menerbitkan karya Gus Noy sendiri. Membukukan berarti
berhubungan dengan kearsipan pustaka (literasi) nasional--Perpustakaan Nasional, dan percetakan. Kearsipan nasional yang dimaksud adalah nomor buku yang juga sampai di perpustakaan negara. Nomor buku ini adalah International Serial Book Number (ISBN).
Ya, kalau mau sebuah buku bisa menjadi kasanah literasi nasional, tentunya, wajib mengikuti prosedur yang berlaku. Kalau hanya untuk sendiri, lebih baik ikut penerbit umum yang sudah ada.
Sementara percetakaan merupakan upaya mewujudkannya menjadi sebuah buku secara nyata. Untuk mencetaknya menjadi sebuah buku, tentu saja, harus berhubungan dengan usaha percetakan, mengikuti spesifikasi buku, dan membiayainya.
Ya, membiayai pencetakannya sendiri. Swadaya, tepatnya. Berharap mendapat ‘uang lebih’ agar buku bisa terwujud karena tidak mudah berharap dari uluran dana orang lain.
Ya, kalau mau sebuah buku bisa menjadi kasanah literasi nasional, tentunya, wajib mengikuti prosedur yang berlaku. Kalau hanya untuk sendiri, lebih baik ikut penerbit umum yang sudah ada.
Sementara percetakaan merupakan upaya mewujudkannya menjadi sebuah buku secara nyata. Untuk mencetaknya menjadi sebuah buku, tentu saja, harus berhubungan dengan usaha percetakan, mengikuti spesifikasi buku, dan membiayainya.
Ya, membiayai pencetakannya sendiri. Swadaya, tepatnya. Berharap mendapat ‘uang lebih’ agar buku bisa terwujud karena tidak mudah berharap dari uluran dana orang lain.
Misi ini, pada
2010, belum mengenal istilah “sendiri” (selfie)
atau “menerbitkan sendiri” (self
publishing). Dan, daripada bingung menyoal penerbitan milik orang lain, baik menunggu uluran tangan penerbit terkemuka (mainstream) maupun penerbit terbelakang, mending buku diterbitkan sendiri.
Proyek Pribadi Non-Profit (Non-Komersial)
Penerbitan ini
merupakan sebuah proyek pribadi, yaitu menerbitkan karya-karya Gus Noy sendiri, dan tidak direncanakan sebagai sebuah
perusahaan penerbitan komersial yang berorientasi profit alias mencari keuntungan finansial semata.
Meskipun dana berasal dari rekening sendiri, tidak berarti bahwa hasil
penerbitan harus mendapat imbalan setimpal, bahkan meraup keuntungan besar secara rutin.
Hal ini pun selalu
kembali ke misi awal, yaitu menerbitkan karya sendiri. Dengan demikian, arah
tidak menyimpang ke persoalan profit sebagaimana penerbit komersial umumnya.
Kalau kemudian rugi, jelas bukanlah suatu hasil perhitungan yang paling
memilukan seumur hidup.
Misi awal masih begitu. Berikutnya adalah menjadikan penerbitan ini sebagai penerbitan keluarga, di mana karya-karya yang akan diterbitkan merupakan karya keluarga Gus Noy atau keluarga besarnya. Dengan adanya penerbitan, Gus Noy bermaksud memfasilitasi karya-karya dari kalangan keluarganya.
Misi selanjutnya adalah menerbitkan karya-karya rekan, yang memang layak untuk diterbitkan, atau sekadar memanfaatkan penerbitan untuk mendapatkan ISBN. Ini pun jelas masih berkisar dalam idealisme pribadi untuk kepentingan bersama. Tetapi, hal ini belum menjadi fokus awal-utama.
Apakah pemilik penerbitan buku ini tergolong berekonomi kaya, kok berani membiayai sendiri? Kalau kelas ekonomi kaya ditengarai melalui kendaraan bernama mobil, jelas pemiliknya tidak memiliki benda beroda empat itu. Jangankan sebuah mobil apalagi berteknologi terbaru, sejak 2009 Gus Noy menggunakan kendaraan warisan mertua.
Inilah proyek pribadi non-profit yang idealis itu. Sebagian uangnya disisihkan demi menghidupkan idealisme-nya. Tidak sedikit buku terbitannya dibagi-bagikannya secara gratis kepada kawan-kawannya yang sudah memiliki kemampuan ekonomi memadai (mampu membeli apa saja demi mode kekinian tetapi tidak mampu menghargai sebuah kreasi idealis yang berbiaya lumayan besar).
Memang bohong jika tidak mendapatkan profit. Tetapi, setiap profit yang didapat harus dikelola lagi untuk menerbitkan buku-buku lainnya, yang sudah disiapkan jauh waktu sebelumnya. Artinya, setiap rupiah yang diperoleh, akan dijadikan buku berikutnya.
Misi awal masih begitu. Berikutnya adalah menjadikan penerbitan ini sebagai penerbitan keluarga, di mana karya-karya yang akan diterbitkan merupakan karya keluarga Gus Noy atau keluarga besarnya. Dengan adanya penerbitan, Gus Noy bermaksud memfasilitasi karya-karya dari kalangan keluarganya.
Misi selanjutnya adalah menerbitkan karya-karya rekan, yang memang layak untuk diterbitkan, atau sekadar memanfaatkan penerbitan untuk mendapatkan ISBN. Ini pun jelas masih berkisar dalam idealisme pribadi untuk kepentingan bersama. Tetapi, hal ini belum menjadi fokus awal-utama.
Apakah pemilik penerbitan buku ini tergolong berekonomi kaya, kok berani membiayai sendiri? Kalau kelas ekonomi kaya ditengarai melalui kendaraan bernama mobil, jelas pemiliknya tidak memiliki benda beroda empat itu. Jangankan sebuah mobil apalagi berteknologi terbaru, sejak 2009 Gus Noy menggunakan kendaraan warisan mertua.
Inilah proyek pribadi non-profit yang idealis itu. Sebagian uangnya disisihkan demi menghidupkan idealisme-nya. Tidak sedikit buku terbitannya dibagi-bagikannya secara gratis kepada kawan-kawannya yang sudah memiliki kemampuan ekonomi memadai (mampu membeli apa saja demi mode kekinian tetapi tidak mampu menghargai sebuah kreasi idealis yang berbiaya lumayan besar).
Memang bohong jika tidak mendapatkan profit. Tetapi, setiap profit yang didapat harus dikelola lagi untuk menerbitkan buku-buku lainnya, yang sudah disiapkan jauh waktu sebelumnya. Artinya, setiap rupiah yang diperoleh, akan dijadikan buku berikutnya.
Namanya Abadi Karya
Frase “abadi karya”
memang sengaja dipakai untuk nama penerbit. Jelas-gamblang, mengabadikan karya. Tidak lagi tercecer dalam
guntingan koran, atau tersimpan di komputer yang rentan digerogoti virus atau
dicuri.
Perisai khas Dayak
adalah sebuah kesadaran atas keberadaan (tempat).
Buku adalah sebuah wujud
khas sebagai hasilnya.
Sedikit bentuk
dekorasi Dayak adalah juga suatu kesadaran atas tempat.
Sedikit bentuk seperti tangan menyangga buku adalah bagian satu-kesatuan.
Sedikit bentuk seperti tangan menyangga buku adalah bagian satu-kesatuan.
Kesan huruf pun terdapat dalam logo, yaitu "A", dan "K". A adalah Abadi, K adalah Karya.
Penerbit Abadi Karya dan Dunia Perpustakaan
Indonesia
Buku dan perpustakaan (literasi) memiliki sebuah hubungan yang erat. Dan, kalau sebuah penerbitan hanyalah nama lantas tidak memiliki suatu kaitan dengan dunia perpustakaan, tentulah ada yang kurang.
Penerbit Abadi Karya bukanlah sekadar suatu tempat usaha perbukuan yang sama sekali tidak 'menginjak bumi'. Maka, Penerbit Abadi Karya pun 'sowan' ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan legalitas sebagai penerbit, berpartisipasi aktif dalam literasi Indonesia, dan bertanggung jawab (berkaitan dengan setiap isi terbitannya).
Dengan bantuan Penulis Setiyo Bardono, Penerbit Abadi Karya 'merapat' ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, menyerahkan buku terbitan pertama, dan mendapat Kartu Anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Nomor Anggotanya : 978-602-98452.
Dengan adanya kartu sekaligus 'direstui'-nya buku pertama itu, pada 4 Januari 2011 Penerbit Abadi Karya menjadi anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan mendapat kesempatan untuk menerbitkan buku ber-ISBN.
Untuk memudahkan urusannya, kini sudah bisa diakses secara online ke situs mereka, www.perpusnas.go.id.
Resmi Menjadi Penerbit
Dengan pemberian Kartu Anggota Perpustakaan Nasional R.I. pada 4 Januari 2011, sekaligus buku pertama terbit, secara langsung menandai berdirinya Penerbit Abadi Karya Balikpapan secara resmi (legal).
Dengan keberadaannya secara resmi sebagai anggota Perpustakaan Nasional, tentu saja, Penerbit Abadi Karya Balikpapan harus mengindahkan hal-hal yang wajib dan dilarang dalam setiap isi terbitannya (buku), berkaitan dengan keberlangsungan hidupnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua ini merupakan konsekuansi logis yang disadari sepenuhnya oleh Penerbit Abadi Karya, yang kemudian diterapkan pada analsis-seleksi terhadap setiap karya (naskah) yang akan diterbitkan.
Rekam Jejak Penerbitan Buku
Buku-buku yang diterbitkan oleh Penerbit Abadi Karya akan selalu dikirimkan ke Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Daerah sebagai bukti penggunaan ISBN, rekam jejak penerbitan, dan memenuhi ketentuan dari undang-undang yang berlaku.
Pertama, sesuai dengan pesan dari Tim ISBN/KDT melalui surat pemberian ISBN-nya,
"Apabila buku sudah diterbitkan harap diserahkan setiap judul 2 eksemplar ke Perpustakaan Nasional RI dan 1 eksemplar ke Perpustakaan Daerah di ibukota propinsi dimana buku diterbitkan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak Dan Karya Rekam (Pasal 2)."
Kedua, sesuai dengan arahan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
UNDANG-UNDANG
NOMOR 4 TAHUN 1990
TENTANG SERAH-SIMPAN KARYA CETAK DAN KARYA REKAM
BAB II
KEWAJIBAN SERAH -
SIMPAN KARYA CETAK DAN KARYA REKAM
Pasal 2
Setiap penerbit yang berada di
wilayah negara Republik Indonesia, wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari
setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Nasional, dan
sebuah kepada Perpustakaan Daerah di ibukota propinsi yang bersangkutan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diterbitkan.
Alamat Penerbit Abadi Karya
Jalan Swadaya
No.18/RT.32
Kel. Mekarsari
Balikpapan 76122Kel. Mekarsari
Surel : abadikaryabalikpapan@yahoo.com
Penerbit Abadi Karya belum berpikir untuk menjadikan usahanya beralih, dari usaha pribadi-idealis ke jalur industri-kapitalisme penerbitan buku. Kata “industri” selalu menggugah suatu ‘pertanyaan’ : kepentingan profit (keuntungan finansial). Ketika buku disebut sebagai “jendela budaya”, industrialisasi buku berarti industrialisasi budaya, dan kepentingan profit menjadi kunci bagi semua pintu.
Nah, yang terpikirkan, jika nekat berbisnis penerbitan lalu
banyak peminat jasanya, di samping kurus kering dan botak total, juga
berpotensi merecoki profesi utamanya sebagai arsitek. Arsitek adalah profesi
yang menjadi prioritas. Selain arsitek, tentunya Gus Noy, juga Penerbit Abadi Karya tidak mau terjebak godaan
kapitalisasi budaya melalui jasa penerbitan buku.
*******
*******
Tulisan di bawah ini tertanggal 14 April 2018
Perkembangan Pasca-22 Februari 2018
Ada perkembangan yang penting untuk diungkapkan secara jujur pada situs Penerbit Abadi Karya ini, dimana niat awal yang individualis-idealis-non-kapitalisme menjadi dasar berdirinya penerbit ini. Mungkin bisa kembali dibaca pada awal tulisan.
*******
Karya-karya yang akan Diterbitkan
Gus Noy memiliki beberapa karya, baik gambar maupun tulis. Sementara secara kekaryaan individual, beberapa penghargaan pernah diraihnya :
a. Kartun
b. Gambar Kaus Oblong
c. Cerpen
d. Esei
Meski pernah meraih Juara I Lomba Menulis Artikel Ekawarsa Bangka Pos 2000 tetapi tidak ada bukti sertifikasinya, keseriusan Gus Noy dalam menulis esei dapat dibuktikan pula melalui penghargaan dari Kantor Bahasa Kaltim 20016.
Sayang sekali jika tidak diabadikan melalui buku. Untuk itu Penerbit Abadi Karya akan menerbitkan karya-karya itu dalam buku yang berbeda-beda, yaitu :
1. Kumpulan Cerpen
2. Kumpulan Puisi
3. Kumpulan Catatan Pribadi
4. Kumpulan Esai
5. Kumpulan Gombal
6. Kumpulan Kartun Humor
7. Kumpulan Kartun Strip Bertokoh Oji
8. Kumpulan Kartun Opini
9. Kumpulan Catatan Pekerjaan
10. Kumpulan Rancangan Arsitektur
11. Kumpulan Gambar Kaus Oblong
12. Kumpulan Pantun
13. Novel
Tetapi kesemua buku itu tergantung dana yang dimiliki.
Sumber Dana Penerbitan
Sumber dana penerbitan berasal dari keuangan Gus Noy sendiri. Tentu saja sangat terbatas karena memang pekerjaan sebagai seorang arsitek yang terlalu baik seringkali hanya mendapat omong kosong dari para pengemis bergaya borjuis. Para pengemis itu tidak pernah peduli realitas bahwa, untuk menyekolahkan anaknya atau untuk bisa sekolah saja sudah harus membayar biaya pendaftaran. Itu pun belum tentu si anak akan lanjut sekolah, alias mungkin, putus sekolah dengan aneka sebab-musabab. Lagak mereka kaya, mentalnya ngemis.
Hal tersebut selalu berdampak pada keuangan Gus Noy. Sudah bekerja keras, dan mengutamakan hasil kerja baru bagaimana hitungan pembayaran, tetapi sama sekali tanpa kesepadanan dengan penghargaan kaum pengemis bergaya borjuis.
Intinya, dana minimalis. Meski minimalis, Gus Noy tetap idealis dan realistis untuk menerbitkan karya-karyanya sendiri. Maka pada 2016 Penerbit Abadi Karya akan menerbitkan buku-bukunya dengan jumlah minimalis pula, yaitu 20 eksemplar saja. Namun, apabila ada rezeki, pada 2017 Penerbit Abadi Karya ingin mencetak 50 eksemplar untuk kumpulan kartun.
Ya, 2017 ada perbedaan dalam jumlah eksemplar, khususnya untuk buku kumpulan kartun "Potret Diri Oji", setelah diusulkan oleh Dominggus Elcid Li. Kemudian mencoba mencetaknya di tempat berbeda, dengan spesifikasi kertas isi sekaligus biaya cetak berbeda.
Yang juga sangat membedakannya adalah dana pencetakan. Kakaknya Gus Noy, yaitu Antonius Wahjudi, S.T., M. Eng., memberi dana segar untuk mencetak buku kumpulan kartun itu pada 16 Januari 2017. Hal ini penting sekali dicatat sebagai tonggak keterlibatan keluarga secara nyata untuk rencana penerbitan pada misi berikutnya.
Lalu kumpulan kartun humor "Tersenyum Pun Boleh", yang dananya dibantu oleh Ce Agatha Cienawati.
Rekening BCA No.118-030-8608, a.n. Agustinus Wahjono.
Sumber Daya Manusia
Buku-buku Penerbit Abadi Karya diolah-kelola oleh Gus Noy sendiri, baik penyuntingan, penataan isi, rancang sampul, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh, pertama, keminiman sumber dana untuk membayar para profesional dalam bidang terkait.
Kedua, pengalaman Gus Noy, baik ketika penjadi peserta Bimbingan Belajar Menggambar di Garizt yang diasuh oleh Himpunan Mahasiswa FSRD ITB maupun sebagai mantan aktivis pers mahasiswa di kampusnya (Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Ia pernah menjadi ilustrator, penata artistik, wartawan, dan pemimpin redaksi.
Era Industrialisasi Percetakan
Pencetakan buku Di Bawah Bayang-bayang Bulan sebanyak 500 eksemplar pada 2011, sejujurnya, merupakan sebuah 'kecelakaan'. Maksudnya, tidak sesuai dengan standar. Persoalannya adalah, 1. Jarak antara Penerbit (Balikpapan) dan Percetakan (Semarang); 2. Komunikasi yang tidak sepaham antara Penerbit dan Percetakan; 3. Mutu barang cetakan yang jauh dari standar umum.
Akibatnya, 90% buku hanya menjadi kesia-siaan semata. Di samping itu, karena Percetakan tersebut merupakan bisnis keluarga seorang kawan, tak pelak 'mengganggu' hubungan perkawanan.
Berangkat dari pengalaman itu Penerbit Abadi Karya 'berhenti' dalam kurun 5 tahun. Sementara industri percetakan buku kurang membahana di Balikpapan. Hal ini berkaitan erat dengan iklim perbukuan dan minat baca masyarakat Balikpapan yang sangat tidak kondusif.
Pada 2016 Penerbit Abadi Karya mulai mencari percetakan yang benar-benar bisa sepadan antara dana dan hasil cetak. Kebetulan perkembangan industri percetakan sedang marak di Jawa, seiring melonjaknya jumlah penulis sejak media sosial memberi peluang untuk publisitas, dan pemasaran (marketing).
Cara terkini, yakni cetak sesuai dengan permintaan (print on demand/POD), memudahkan para penulis untuk menyampaikan naskah, dan buku tercetak sesuai dengan format naskah yang dikirim. Format tata isi sederhana saja. Kemudian formatnya diganti dengan PDF. Untuk sampul, menggunakan format JPG beresolusi 300 dpi.
Kondisi semacam itu memberi peluang kepada Penerbit Abadi Karya untuk 'hidup' kembali. Dengan biaya minimalis, jumlah buku minimalis, dan semangat idealis, maka dimulailah kiprahnya. Tentu saja ISBN menjadi salah satu penentu atas realisasi semua itu sebagai konsekuensi logis warga negara dalam budaya pustaka (literasi) nasional.
Dan, kebetulan, era industrialisasi percetakan dengan persaingan bisnis yang ketat, sebagian percetakan menerima pencetakan buku dengan jumlah minimalis. Tidak harus ratusan-ribuan eksemplar per judul buku.
Dengan demikian Penerbit Abadi Karya, yang memiliki dana terbatas, juga bisa memanfaatkan antara kesempatan dan keterbatasan sebagai upaya mewujudkan idealisme itu, yaitu 20 eksemplar per judul buku pada 2016.
Jumlah Cetak Tiap Buku
Karena ada beberapa karya Gus Noy dari aneka genre, mau-tidak mau, jumlah (eksemplar) setiap satu judul buku dibatasi 20 eksemplar saja dan angka 20 itu menjadi batas minimal pencetakan buku dari percetakan. Kumpulan puisi cinta basi Cinta Usang dan kumpulan cerpen Rambo merupakan contohnya.
20 eksemplar itu pun terbagi-bagi :
1. 2 eksemplar wajib diserahkan ke Perpustakaan Nasional R.I.
2. 1 eksemplar wajib diserahkan ke Perpustakaan Daerah, dalam hal ini Balikpapan.
3. 1 eksemplar wajib menjadi arsip penerbit.
4. 1 eksemplar wajib diserahkan kepada Penulis Kata Pengantar.
5. 15 eksemplar hak penerbit untuk menjualnya.
Pada 2017, apabila ada rezeki, Penerbit Abadi Karya berencana mencetak 50 eksemplar untuk buku kumpulan kartun, Potret Diri Oji, dan Tersenyum Pun Boleh.
Cetak I dan Cetak Ulang
Pada 2016 Penerbit Abadi Karya tidak melakukan cetak ulang untuk semua buku. Buku habis terjual, tidak ada kesempatan ke-2.
Alasan "tidak cetak ulang" :
1. Selalu ada karya Gus Noy yang menunggu untuk dibukukan.
2. Keterbatasan dana sehingga hasil penjualan disiapkan untuk cetak buku lainnya.
3. Ada keterangan "EDISI TERBATAS" pada sampul buku, dan Penerbit konsisten.
4. Idealisme awal : mengabadikan karya, bukan membisniskan karya.
5. Penghargaan kepada peminat yang menjadi pembeli.
Pada 2018 jumlah eksemplar per judul yang wajib cetak dan kewajiban ini dari percetakan, yaitu 30 eksemplar. Maka sejak 2018 jadi minimal 30 eksemplar per judul buku.
Bisnis Penerbitan sebagai Industrialisasi Budaya
Gus Noy memiliki beberapa karya, baik gambar maupun tulis. Sementara secara kekaryaan individual, beberapa penghargaan pernah diraihnya :
a. Kartun
b. Gambar Kaus Oblong
c. Cerpen
d. Esei
Meski pernah meraih Juara I Lomba Menulis Artikel Ekawarsa Bangka Pos 2000 tetapi tidak ada bukti sertifikasinya, keseriusan Gus Noy dalam menulis esei dapat dibuktikan pula melalui penghargaan dari Kantor Bahasa Kaltim 20016.
Sayang sekali jika tidak diabadikan melalui buku. Untuk itu Penerbit Abadi Karya akan menerbitkan karya-karya itu dalam buku yang berbeda-beda, yaitu :
1. Kumpulan Cerpen
2. Kumpulan Puisi
3. Kumpulan Catatan Pribadi
4. Kumpulan Esai
5. Kumpulan Gombal
6. Kumpulan Kartun Humor
7. Kumpulan Kartun Strip Bertokoh Oji
8. Kumpulan Kartun Opini
9. Kumpulan Catatan Pekerjaan
10. Kumpulan Rancangan Arsitektur
11. Kumpulan Gambar Kaus Oblong
12. Kumpulan Pantun
13. Novel
Tetapi kesemua buku itu tergantung dana yang dimiliki.
(Sumber : http://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchBuku?searchCat=Pengarang&searchTxt=gus+noy)
Sumber Dana Penerbitan
Sumber dana penerbitan berasal dari keuangan Gus Noy sendiri. Tentu saja sangat terbatas karena memang pekerjaan sebagai seorang arsitek yang terlalu baik seringkali hanya mendapat omong kosong dari para pengemis bergaya borjuis. Para pengemis itu tidak pernah peduli realitas bahwa, untuk menyekolahkan anaknya atau untuk bisa sekolah saja sudah harus membayar biaya pendaftaran. Itu pun belum tentu si anak akan lanjut sekolah, alias mungkin, putus sekolah dengan aneka sebab-musabab. Lagak mereka kaya, mentalnya ngemis.
Hal tersebut selalu berdampak pada keuangan Gus Noy. Sudah bekerja keras, dan mengutamakan hasil kerja baru bagaimana hitungan pembayaran, tetapi sama sekali tanpa kesepadanan dengan penghargaan kaum pengemis bergaya borjuis.
Intinya, dana minimalis. Meski minimalis, Gus Noy tetap idealis dan realistis untuk menerbitkan karya-karyanya sendiri. Maka pada 2016 Penerbit Abadi Karya akan menerbitkan buku-bukunya dengan jumlah minimalis pula, yaitu 20 eksemplar saja. Namun, apabila ada rezeki, pada 2017 Penerbit Abadi Karya ingin mencetak 50 eksemplar untuk kumpulan kartun.
Ya, 2017 ada perbedaan dalam jumlah eksemplar, khususnya untuk buku kumpulan kartun "Potret Diri Oji", setelah diusulkan oleh Dominggus Elcid Li. Kemudian mencoba mencetaknya di tempat berbeda, dengan spesifikasi kertas isi sekaligus biaya cetak berbeda.
Yang juga sangat membedakannya adalah dana pencetakan. Kakaknya Gus Noy, yaitu Antonius Wahjudi, S.T., M. Eng., memberi dana segar untuk mencetak buku kumpulan kartun itu pada 16 Januari 2017. Hal ini penting sekali dicatat sebagai tonggak keterlibatan keluarga secara nyata untuk rencana penerbitan pada misi berikutnya.
Lalu kumpulan kartun humor "Tersenyum Pun Boleh", yang dananya dibantu oleh Ce Agatha Cienawati.
Rekening BCA No.118-030-8608, a.n. Agustinus Wahjono.
Sumber Daya Manusia
Buku-buku Penerbit Abadi Karya diolah-kelola oleh Gus Noy sendiri, baik penyuntingan, penataan isi, rancang sampul, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh, pertama, keminiman sumber dana untuk membayar para profesional dalam bidang terkait.
Kedua, pengalaman Gus Noy, baik ketika penjadi peserta Bimbingan Belajar Menggambar di Garizt yang diasuh oleh Himpunan Mahasiswa FSRD ITB maupun sebagai mantan aktivis pers mahasiswa di kampusnya (Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Ia pernah menjadi ilustrator, penata artistik, wartawan, dan pemimpin redaksi.
Era Industrialisasi Percetakan
Pencetakan buku Di Bawah Bayang-bayang Bulan sebanyak 500 eksemplar pada 2011, sejujurnya, merupakan sebuah 'kecelakaan'. Maksudnya, tidak sesuai dengan standar. Persoalannya adalah, 1. Jarak antara Penerbit (Balikpapan) dan Percetakan (Semarang); 2. Komunikasi yang tidak sepaham antara Penerbit dan Percetakan; 3. Mutu barang cetakan yang jauh dari standar umum.
Akibatnya, 90% buku hanya menjadi kesia-siaan semata. Di samping itu, karena Percetakan tersebut merupakan bisnis keluarga seorang kawan, tak pelak 'mengganggu' hubungan perkawanan.
Berangkat dari pengalaman itu Penerbit Abadi Karya 'berhenti' dalam kurun 5 tahun. Sementara industri percetakan buku kurang membahana di Balikpapan. Hal ini berkaitan erat dengan iklim perbukuan dan minat baca masyarakat Balikpapan yang sangat tidak kondusif.
Pada 2016 Penerbit Abadi Karya mulai mencari percetakan yang benar-benar bisa sepadan antara dana dan hasil cetak. Kebetulan perkembangan industri percetakan sedang marak di Jawa, seiring melonjaknya jumlah penulis sejak media sosial memberi peluang untuk publisitas, dan pemasaran (marketing).
Cara terkini, yakni cetak sesuai dengan permintaan (print on demand/POD), memudahkan para penulis untuk menyampaikan naskah, dan buku tercetak sesuai dengan format naskah yang dikirim. Format tata isi sederhana saja. Kemudian formatnya diganti dengan PDF. Untuk sampul, menggunakan format JPG beresolusi 300 dpi.
Kondisi semacam itu memberi peluang kepada Penerbit Abadi Karya untuk 'hidup' kembali. Dengan biaya minimalis, jumlah buku minimalis, dan semangat idealis, maka dimulailah kiprahnya. Tentu saja ISBN menjadi salah satu penentu atas realisasi semua itu sebagai konsekuensi logis warga negara dalam budaya pustaka (literasi) nasional.
Dan, kebetulan, era industrialisasi percetakan dengan persaingan bisnis yang ketat, sebagian percetakan menerima pencetakan buku dengan jumlah minimalis. Tidak harus ratusan-ribuan eksemplar per judul buku.
Dengan demikian Penerbit Abadi Karya, yang memiliki dana terbatas, juga bisa memanfaatkan antara kesempatan dan keterbatasan sebagai upaya mewujudkan idealisme itu, yaitu 20 eksemplar per judul buku pada 2016.
Jumlah Cetak Tiap Buku
Karena ada beberapa karya Gus Noy dari aneka genre, mau-tidak mau, jumlah (eksemplar) setiap satu judul buku dibatasi 20 eksemplar saja dan angka 20 itu menjadi batas minimal pencetakan buku dari percetakan. Kumpulan puisi cinta basi Cinta Usang dan kumpulan cerpen Rambo merupakan contohnya.
20 eksemplar itu pun terbagi-bagi :
1. 2 eksemplar wajib diserahkan ke Perpustakaan Nasional R.I.
2. 1 eksemplar wajib diserahkan ke Perpustakaan Daerah, dalam hal ini Balikpapan.
3. 1 eksemplar wajib menjadi arsip penerbit.
4. 1 eksemplar wajib diserahkan kepada Penulis Kata Pengantar.
5. 15 eksemplar hak penerbit untuk menjualnya.
Pada 2017, apabila ada rezeki, Penerbit Abadi Karya berencana mencetak 50 eksemplar untuk buku kumpulan kartun, Potret Diri Oji, dan Tersenyum Pun Boleh.
Cetak I dan Cetak Ulang
Pada 2016 Penerbit Abadi Karya tidak melakukan cetak ulang untuk semua buku. Buku habis terjual, tidak ada kesempatan ke-2.
Alasan "tidak cetak ulang" :
1. Selalu ada karya Gus Noy yang menunggu untuk dibukukan.
2. Keterbatasan dana sehingga hasil penjualan disiapkan untuk cetak buku lainnya.
3. Ada keterangan "EDISI TERBATAS" pada sampul buku, dan Penerbit konsisten.
4. Idealisme awal : mengabadikan karya, bukan membisniskan karya.
5. Penghargaan kepada peminat yang menjadi pembeli.
Pada 2018 jumlah eksemplar per judul yang wajib cetak dan kewajiban ini dari percetakan, yaitu 30 eksemplar. Maka sejak 2018 jadi minimal 30 eksemplar per judul buku.
Bisnis Penerbitan sebagai Industrialisasi Budaya
Penerbit Abadi Karya belum berpikir untuk menjadikan usahanya beralih, dari usaha pribadi-idealis ke jalur industri-kapitalisme penerbitan buku. Kata “industri” selalu menggugah suatu ‘pertanyaan’ : kepentingan profit (keuntungan finansial). Ketika buku disebut sebagai “jendela budaya”, industrialisasi buku berarti industrialisasi budaya, dan kepentingan profit menjadi kunci bagi semua pintu.
Agak riskan ketika idealisme berbenturan dengan kepentingan profit
alias udelisme. Tetapi, bagaimana kalau Abadi Karya melakukan pekerjaan budaya
dengan tidak menafikkan realitas kebutuhan finansial? Bisa saja, sih.
Akan tetapi, persoalan utamanya adalah sumber dana. Meski bisa
diam-diam menjadi ‘makelar’ atau sub kontraktor penerbitan buku, persoalan dana
bukanlah perkara sepele. Sebab, sumber perolehan dana harus sudah memiliki
saldo di rekening, dan sistem pembayaran bisa berlaku secara reguler sesuai
dengan kesepakatan dengan penulis atau pemilik pesanan (owner).
Saldo menjadi sensitif karena berkaitan
dengan banyak hal, misalnya penulis, percetakan (produksi), promosi, dan
seterusnya. Gus Noy dan Penerbit Abadi Karya harus terhindar dari problematika satu itu,
meski godaan “supertega” selalu berkata, “Kaya raya sangat mudah dengan
mengorbankan apa saja demi uang.”
Hal utama kedua adalah sumber daya manusia. Selama ini Penerbit Abadi Karya
dikelola oleh seorang Gus Noy saja, baik redaksional, operasional, produksi,
dan distribusi (pemasaran/marketing). Tentunya, sebagai seorang arsitek
tulen, mengelola sebuah penerbitan buku seorang diri bukanlah sebuah pekerjaan
yang mudah. Kemudahan bisa diperoleh dengan dukungan orang-orang lainnya yang
memang berkompeten, tentunya.
Yang paling jelas, sumber daya
redaksional. Personal terdepan adalah penyunting (editor) naskah. Di belakangnya
adalah penata artistik (layouter). Di belakang lagi, perancang sampul (disainer
cover). Jika Penerbit Abadi Karya harus merekrut para jagoan (ahli) itu, berapakah harga yang harus dibayar?
Dan, kembali ke persoalan utama, yakni
sumber dana. Ketidakmampuan finansial Penerbit Abadi Karya selalu memaksa Gus Noy melakukan
pekerjaan secara rangkap, mulai dari penyuntingan, penataan isi, dan
perancangan sampul, untuk buku-bukunya sendiri. Latar kegiatan semasa mahasiswa
di pers kampus memang tepat. Pekerjaan membuat buku pun bisa dilakukannya
sendiri. Dampaknya : badan kurus, dan rambut rontok.
Tidak hanya itu, barangkali. Tentunya bisa berdampak pada hasil (produk). Persoalan tata isi, mutu, bahasa, dan tampilan pada sampul pun bisa "kurus" bahkan mutu mengalami "kerontokan". Jelas sangat berisiko. Tapi, bagaimana kalau menjadi seorang "raja tega" demi ambisi pribadi untuk memerkaya diri?
Tidak hanya itu, barangkali. Tentunya bisa berdampak pada hasil (produk). Persoalan tata isi, mutu, bahasa, dan tampilan pada sampul pun bisa "kurus" bahkan mutu mengalami "kerontokan". Jelas sangat berisiko. Tapi, bagaimana kalau menjadi seorang "raja tega" demi ambisi pribadi untuk memerkaya diri?
*******
*******
Tulisan di bawah ini tertanggal 14 April 2018
Perkembangan Pasca-22 Februari 2018
Ada perkembangan yang penting untuk diungkapkan secara jujur pada situs Penerbit Abadi Karya ini, dimana niat awal yang individualis-idealis-non-kapitalisme menjadi dasar berdirinya penerbit ini. Mungkin bisa kembali dibaca pada awal tulisan.
Perkembangan itu berkaitan dengan perubahan sistem pemberian International Serial Book Number (ISBN) secara daring (online) dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) per 1 April 2018. Sejak pertama didirikan pada 2010, Penerbit Abadi Karya langsung bergabung dengan Perpusnas dan menjalankan kewajiban, semisal mengirimkan deposit penerbitan, sampai pada 2017 melalui penerbitan-pencetakan buku kumpulan kartun Potret Diri Oji dan Tersenyum Pun Boleh.
Pelayanan ISBN secara Daring (Online)
Pada 2018 situasinya berbeda. Bermula dari pengurusan ISBN untuk 5 buku Gus Noy yang rencananya bakal terbit pada 2018, yaitu kumpulan puisi Membaca Bukumu di Atas Kakus dan Waktu Terhenti di Kursi Rotan, kumpulan cerita pendek Seseorang Mencuri Mata Saya dan Kota Terhilang, dan kumpulan esai Belum Banyak Berbuat untuk Indonesia. Kemudian Tim ISBN mengirimkan surat, yang juga berlaku bagi penerbit lainnya, dengan surat tertanggal 19 Februari 2018.
Penerbit Abadi Karya pun mendaftarkan diri (registrasi) di situs resmi ISBN-Perpusnas (http://isbn.perpusnas.go.id) agar bisa menggunakan fasilitas teknologi yang disediakan. Tetapi beberapa kali mencoba selalu gagal. Lalu pada 13 April 2018 dalam posel Penerbit Abadi Karya masuklah surel dari Tim ISBN bersubyek "Informasi Online" :
info_isbn@perpusnas.go.id
Kepada:abadikaryabalikpapan@yahoo.com
Cc:info_isbn@perpusnas.go.id
Surat pernyataan dan akta notaris tidak terlampir.
Silahkan lakukan lakukan registrasi ulang dengan melampirkan surat pernyataaan dan akta notaris.
Salam,
Tim ISBN
Harus Mengurus Akta Notaris
Mau-tidak mau Penerbit Abadi Karya ‘terpaksa’ mengikuti ‘aturan’ dengan kewajiban memiliki akta notaris penerbit agar bisa terdaftar dalam ISBN-Perpusnas secara daring, meski bisa dipastikan bahwa pengurusan akta notaris akan menelan biaya. Memang, tidak mustahil, kata “biaya” cenderung berpotensi (berdampak) pada niat awal pendirian penerbitan.
Dan, tak pelak, hal ini semakin menguji niat awal Agustinus Wahyono dalam idealisme-nya. Seperti yang tertulis, “Penerbitan ini merupakan sebuah proyek pribadi, yaitu menerbitkan karya-karya Gus Noy sendiri, dan tidak direncanakan sebagai sebuah perusahaan penerbitan komersial yang berorientasi profit alias mencari keuntungan finansial semata. Meskipun dana berasal dari rekening sendiri, tidak berarti bahwa hasil penerbitan harus mendapat imbalan setimpal, bahkan meraup keuntungan besar secara rutin.”
Untuk sementara Penerbit Abadi Karya akan berhubungan dengan sebuah lembaga/biro notaris di Balikpapan agar persoalan akta notaris bisa diselesaikan. Toh, pada 2018 ini,sudah disiapkan 5 buku untuk diterbitkan, dan belum ada rencana tambahan. Tidak perlu menambah rencana jika 5 calon buku masih berupa manuskrip alias belum dicetak.
Lantas, mengenai hasil penyelesaiannya alias akta notaris secara legal, akan disampaikan pada kabar selanjutnya. Mohon bersabar karena aspek legalitas bukanlah persoalan yang mudah-murah.
Balikpapan, 14 April 2018
Agustinus Wahyono
Pendiri dan Pemilik Penerbit Abadi Karya Balikpapan *******
Berakta Notaris dan Terdaftar di
Isbn.Perpusnas.Go.Id
Latar Belakang
Pada 22 Februari
2018 Penerbit Abadi Karya mengajukan permohonan ISBN untuk buku “Belum Bisa
Berbuat Apa untuk Indonesia” melalui surel. Pada 26 Februari tim ISBN pun
mengabulkan permohonan penerbit, dan melampirkan dua pucuk surat pemberitahuan.
Kedua pucuk surat pemberitahuan itu berintikan bahwa pengajuan ISBN menggunakan
sistem layanan online, penerbit mendaftarkan diri di situs internet Perpusnas
RI (Isbn.Perpusnas.Go.Id), dan layanan secara online berlaku per 1 April
2018.
Kemudian Penerbit Abadi Karya pun
mendaftarkan diri secara daring (online), meskipun pada 4 Januari 2011 sudah
mendapat kartu anggota yang ditandai pula oleh pemberian ISBN untuk buku kumcer
“Di Bawah Bayang-bayang Bulan”. Tetapi
penerbit gagal terdaftar karena tidak menyertakan akta notaris.
Memang, sejak resmi berdirinya pada 6 Juni
2010, Penerbit Abadi Karya tidak memiliki akta notaris. Hal ini karena pada
tahun itu (2010) Gus Noy tidak berpikir untuk menjadikan Penerbit Abadi Karya
sebagai sebuah usaha penerbitan buku seperti umumnya, melainkan hanya
menerbitkan karya-karyanya sendiri dengan jumlah yang tidak sampai 100
eksemplar per judul.
Kepada
:
Yth.
Seluruh Pimpinan Penerbit
di
Indonesia
Berdasarkan
Surat Kepala Direktorat
Deposit Bahan Pustaka no. 224/3.1/DBP/II.2018 perihal Pemberitahuan
ketentuan Layanan ISBN Online (terlampir) dengan ini
kami sampaikan kepada semua penerbit yang masih melakukan
pengajuan ISBN secara manual (e-mail,
pos/ekspedisi,
datang
langsung)
untuk
segera
bertahap
merubah jalur pendaftaran ISBN dengan memanfaatkan
fasilitas
online
pada
isbn.perpusnas.go.id
Perpustakaan
Nasional akan membantu, membimbing dan memberikan penjelasan
jika penerbit masih mengalami hambatan atau masalah dalam
proses pendaftaran online ini.
Silahkan
hubungi kami : Tim ISBN Perpustakaan Nasional RI 081382265800
Salam,
Tim
ISBN
Oleh sebab adanya peraturan baru mengenai
layanan daring untuk ISBN per 1 April 2018, Gus Noy harus berpikir lebih
serius, luas jangkauannya, dan berjangka panjang jika masih berharap
buku-bukunya terbit dan terpantau oleh Perpusnas RI melalui adanya ISBN. Sayang
sekali seandainya penerbitan berhenti pada 2018.
Maka sejak 6 Juli 2018 Gus Noy menghubungi
Alfiansyah dan Ardi Laise untuk melakukan proses mengurus akta notaris agar bisa
terdaftar secara daring (online), penerbit bisa mengakomodir karya
putera-puteri Balikpapan setelah 2018, dan terbitan pun tetap memiliki ISBN.
Pihak-pihak yang Berperan dalam Proses Mengurus
Akta Notaris
Proses mengurus
akta notaris untuk Penerbit Abadi Karya tidaklah terlepas dari peran beberapa
pihak, selain sebuah institusi notaris. Hal ini sangat penting didokumentasikan
agar tercantum dalam sejarah perjalanan penerbit yang harus selalu diingat,
dipertimbangkan, dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Pertama, Ardiansyah Laise–alumni Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan
dosen Fak. Hukum Universitas Balikpapan (Uniba), yang memiliki koneksitas
secara langsung dengan pihak notaris di Balikpapan. Ardi adalah kakak kandung Alfiansyah.
Alfiansyah adalah alumni Teknik Mesin, Fak. Teknik Industri, Uniba, dan penulis muda Balikpapan.
Semula, sekitar
Juni 2018, Alfiansyah ingin buku novelnya terbit, dan menghubungi Gus Noy.
Tetapi Gus Noy tidak bisa berbuat apa-apa (menerbitkan) karena, tentunya,
sayang sekali kalau buku novelnya terbit tanpa ISBN. Sementara, per 1 April
2018 proses permohonan ISBN tidak seperti terbitan buku-buku Gus Noy
sebelumnya.
Lalu Alfiansyah
menghubungi kakaknya (Ardi Laise) yang memiliki koneksitas dengan pihak
notaris. Pada 6 Juli 2018 barulah Gus Noy bisa berkomunikasi dengan Ardi
terkait pengurusan akta notaris.
Kedua, Dominggus Elcid Li (Kupang, NTT), yang memberi pinjaman uang untuk
biaya pembuatan akta notaris pada 12 Juli 2018. Sebelumnya, pinjaman itu
disampaikan Gus Noy pada 11 Juli.
Berakta Notaris dan Terdaftar di
Isbn.Perpusnas.Co.Id
Pada 18 Juli 2018
Penerbit Abadi Karya secara resmi berakta notaris. Akta Notarisnya Tertanggal :
18 Juli 2018, Nomor : 05, Akta : Pendirian Persekutuan Komanditer “CV. Abadi
Karya”. Artinya, sekitar 8 tahun barulah penerbit memiliki akta notaris alias
resmi (legal).
Pada 23 Juli 2018 Gus
Noy mendaftarkan Penerbit Abadi Karya secara daring ke Isbn.Perpusnas.Go.Id. Alhasil,
pada 24 Juli 2018 Penerbit Abadi Karya terdaftar secara daring (validasi OK) di
Isbn.Perpusnas.Go.Id. Artinya pula, penerbit sudah bisa memulai aktivitas dan
produktivitas secara lebih mudah.
"Kalau sudah berakta notaris, jangan lupa pajak bulanan atau tahunannya diurus," pesan seorang kawan.
Produk Perdana Pasca-Terdaftar di Isbn.Perpusnas.Co.Id
Novel "Setiap Malam adalah Sepi" karya Alfiansyah merupakan produk perdana pasca-Terdaftar di Isbn.Perpusnas.Co.Id. Naskah novel ber-ISBN 978-602-51497-4-0 pada 26/02/2019 ini masuk ke proses cetak pada Selasa, 12 Maret 2019.
*******
Produk Perdana Pasca-Terdaftar di Isbn.Perpusnas.Co.Id
Novel "Setiap Malam adalah Sepi" karya Alfiansyah merupakan produk perdana pasca-Terdaftar di Isbn.Perpusnas.Co.Id. Naskah novel ber-ISBN 978-602-51497-4-0 pada 26/02/2019 ini masuk ke proses cetak pada Selasa, 12 Maret 2019.
*******
24 Juli 2018